- Home>
- Creepypasta Stories >
- Crawlspace - Creepypasta Stories
Penulis: Katie H.
Source: http://cijechan.wordpress.com
Crawlspace: kolong atau ruangan dengan langit-langit yang sangat
rendah, bertujuan untuk memberikan akses kepada pekerja bangunan untuk
memperbaiki pipa atau saluran air dengan cara merangkak di dalamnya.
Halo semua. Aku menulis cerita ini sebagai peringatan bagi kalian
yang berencana hendak belajar ke luar negeri. Aku tak berniat untuk
menakut-nakuti kalian agar tidak pergi, namun aku hanya ingin kalian
waspada supaya hal yang sama tidak terjadi pada kalian. Kurasa aku harus
menjelaskannya sedikit awal mulanya. Aku terpilih untuk berpartisipasi
dalam program pertukaran pelajar selama beberapa bulan di kota Roma.
Tentu saja aku merasa sangat gembira karena aku belum pernah pergi ke
luar negeri sebelumnya. Jadi ini benar-benar akan menjadi petualangan
bagiku.
Aku mengepak barang-barangku dan harus kuakui, aku sedikit gugup
sebab ini pertama kalinya aku meninggalkan orang tuaku dalam waktu yang
cukup lama. Namun aku juga sangat bersemangat menantikan kebebasanku
selama tinggal di Eropa. Dan akupun terbang selama 19 jam menuju Eropa.
Di bandara, aku disambut oleh supervisor program pertukaran pelajar
tersebut dan beberapa siswa lain yang akan belajar bersamaku. Mereka
semua seumuran dan tampak sama bersemangatnya sepertiku. Setelah melalui
orientasi, kamipun diberikan kunci apartemen kami.
Beberapa bulan sebelum tiba di
Roma, kami bertanggung jawab
untuk menemukan apartemen yang akan kami tinggal secara online. Aku
sudah memutuskan akan tinggal bersama 3 orang gadis lainnya. Mereka
semuanya tampak baik dan karena kami sama-sama memiliki budget terbatas,
akhirnya kami mencoba mencari apartemen termurah yang bisa kami
dapatkan.
Setelah beberapa hari mencari, kami menemukan iklan sebuah apartemen
tua di Campo di Fiori. Kami benar-benar tak percaya masih ada apartemen
yang tersedia di sana dengan harga yang sangat murah. Semula aku sempat
merasa curiga. Namun akhirnya kami tidak memiliki pilihan lain selain
menyewa apartemen itu. Kami menerima satu set kunci beserta peta agar
kami menemukan letaknya. Campo merupakan tempat yang cukup dikenal di
Roma sehingga kami tak kesulitan mencarinya.
Tempat ini benar2 luar biasa. Ketika siang, tempat ini dipenuhi
dengan pedagang dan ketika malam, suasana ganti dimeriahkan oleh musisi
jalanan. Semua bangunan2 di sini semua
tampak tua dan setelah 3-4 kali
berputar-putar, akhirnya kami
menemukan sebuah pintu kayu tua yang amat besar. Tempat ini akan menjadi rumah kami untuk 3 bulan ke depan.
Aku memutar kunci hingga terdengar “klik” dan pintu tebal itu berayun
ke dalam dengan suara berdecit yang keras. Kami kemudian menemukan
sebuah tangga spiral yang panjang.
Kami semua mengeluh. Tentu saja, seharusnya terlintas di pikiran
kami. Karena apartemen ini amat tua, maka belum ada lift di sini. Maka
kami harus menaiki tangga demi tangga yang tampak tak berujung, ditambah
lagi saat itu kami harus membawa barang bawaan kami yang cukup berat.
Akhirnya kami tiba di depan pintu kamar apartemen kami dan masalah
lain muncul begitu kami masuk. Hanya ada 3 kamar di sana, sedangkan kami
berempat. Ini berarti dua dari kami harus berbagi satu kamar. Akhirnya
dengan undian, aku dan seorang gadis bernama Stephanie akan berbagi
kamar. Aku tak keberatan karena Stephanie tampak seperti gadis yang baik
dan pendiam, benar2 teman sekamar yang ideal. Selain 3 kamar tidur
terdapat 2 kamar mandi, sebuah dapur, dan
ruang tamu dengan satu set televisi kuno. Sekali lagi aku merasa kurang
nyaman. Mengapa kamar sebagus ini memiliki harga sewa yang sangat murah.
Kami kemudian menyadari ada bagian lain dari apartemen ini yang belum
kami jelajahi. Terdapat sebuah lorong gelap dengan sebuah mesin cuci
dan mesin pengering. Di belakang, terdapat sebuah pintu yang ternyata
menuju kamar mandi utama. Kami berempat langsung memperebutkan kamar
mandi itu. Betapa tidak, kamar mandi itu amat luas dan lengkap. Ada
sebuah bathub besar yang tak tedapat di kamar lainnya.
Akhirnya Stephanie mengusulkan bahwa karena aku dan dia harus berbagi
kamar, maka masuk akal jika kami berdua yang seharusnya mendapatkan
kamar mandi itu. Semua setuju dan awalnya aku merasa sangat senang.
Namun perasaan itu berubah beberapa hari kemudian. Aku tak tahu
bagaimana menjelaskannya. Namun tiap kali aku menggunakan kamar mandi
itu, aku merasakan sesuatu tengah mengawasiku. Perasaan itu membuatku
sangat tegang. Aku merasa, apapun yang tengah mengawasiku aku, ia sedang
marah. Dia tidak menginginkan aku berada di sana dan ia ingin
menyakitiku.
Aku mulai mencoba menghindari kamar mandi itu. Aku meminta Alisha,
temanku yang lain, untuk bertukar kamar mandi. Aku beralasan kamar mandi
utama terlalu jauh dari kamarku. Ia dengan senang menyanggupinya.
Namun suatu malam, saat aku sedang menggosok gigi, aku mendengar
Alisha sedang memakai kamar mandinya. Aku mendengar suara cekikikan dari
ujung lorong.vPastilah dua temanku yang lain sedang menggunakan kamar
mandi utama. Kurasa untuk sekali-kali tak apa-apa menggunakannya,
pikirku. Lagipula ada teman-temanku di sana. Akupun bergabung dengan
mereka.
Hingga di tengah percakapan, tanpa sengaja Lindsay, temanku yang
lain, bersandar pada dinding dan menyadari sesuatu. Di dinding kamar
mandi, terdapat sebuah pintu yang tak pernah kami sadari keberadaannya.
Bahkan pintu itu dicat dengan warna yang sama dengan dinding. Jelas sang
pemilik apartemen tak ingin kami menemukannya. Karena penasaran, kami
mencoba membuka pintu itu. Awalnya sulit, namun dengan
bantuan pisau lipat, kami akhirnya berhasil membuka pintu itu.
Di baliknya terdapat sebuah ruang rangkak. Ukurannya cukup besar. Menurut perkiraanku, ruang itu bisa memuat 3 atau 4 orang.
Stephanie dan Lindsay kemudian memanggil Alisha untuk melihat
penemuan ini. Akhirnya kami menggunakannya sebagai tempat menyimpan
handuk dan keranjang cucian.
Namun pada hari-hari berikutnya, semenjak kami menemukan ruang
rangkak itu, situasi berubah dari “menakutkan” menjadi “sangat
menyeramkan”. Alisha lebih sering menggunakan kamar mandinya sendiri,
sehingga aku akhirnya terpaksa kembali menggunakan kamar mandi utama.
Ruangan itu membuatku menjadi paranoid, bahkan suara sekecil apapun akan
membuatku melompat karena terkejut.
Puncaknya ketika suatu malam aku sedang menggosok gigi sendirian di
dalam kamar mandi itu, aku mendengar suara gemerisik yang sangat pelan.
Seperti ada yang sedang bergerak dari dalam… ruang rangkak. Aku terdiam
membeku, teror mengisi benakku. Aku segera berlari keluar dan memanggil
teman-temanku.
“Ada sesuatu … di dalam ruang
rangkak …”
Teman-temanku segera menemaniku masuk ke kamar mandi untuk
memeriksanya. Kami kemudian menyadari bahwa jendela kamar mandi dalam
keadaan terbuka. Stephanie rupanya lupa untuk
menutupnya ketika menggunakan kamar mandi ini terakhir kali. Dan di luar
kami melihat beberapa merpati di atap, tepat di atas jendela kamar
mandi. Mereka semua tertawa dan kembali ke kamar mandi masing-masing.
Mereka semua menganggap suara gemerisik yang kudengar berasal dari
merpati-merpati itu, namun tidak. Tidak mungkin. Sebab saat aku
meninggalkan kamar mandi, pintu ruang rangkak dalam keadaan tertutup.
Dan sekarang terbuka.
Jika memang merpati2 itu yang tadi berada di dalam ruang rangkak, bagaimana mereka masuk? Dan bagaimana mereka keluar?
Malam itu aku merasa ada sesuatu yang sangat aneh terjadi di
apartemen ini. Akupun menghubungi sahabatku yang ada di Amerika dengan
menggunakan skype. Untunglah dia mau mendengarkanku dan bahkan tak
sedikitpun meragukan ketakutanku. Kemudian ia meminta foto dari ruang
rangkak itu untuk memastikan. Akupun melakukan apa yang ia minta. Aku
membawa kameraku dan menuju ke kamar mandi, lalu mengumpulkan semua
nyaliku untuk memfoto bagian dalam ruang rangkak itu, lalu segera
berlari kembali ke kamarku.
Aku menghubungkan kameraku
dengan komputer dan mengunggah foto itu. Ketika aku akhirnya membuka gambar itu, aku langsung membeku.
Di pojok kanan atas ruang rangkak itu, di dalam kegelapan, terlihat
samar-samar sebuah wajah, memamerkan gigi-giginya. Tubuhku langsung
gemetaran. Rasa takut mulai mengambil alih tubuhku. Seseorang telah
mengunci makhluk itu di dalam ruang rangkak itu. Dan kami
membebaskannya.
Rasa panik menguasaiku hingga aku tak sadar teman sekamarku telah
kembali. Aku segera mengunci pintu dan ketika Stephanie bertanya, aku
hanya tertawa dengan gugup dan mengatakan bahwa Lindsay
menyelinap masuk ke kamar kami dan mengambil Nutella-ku. Ia hanya
tertawa dan membaringkan tubuhnya ke atas ranjang untuk tidur. Aku tak
mau tidur. Aku tak mau membuatnya merasa takut seperti yang aku rasakan
kini. Akupun mulai mencoba tidur. Dan satu-satunya yang bisa membuatku
menutup mata malam itu adalah rasa aman karena keberadaan teman
sekamarku. Namun rasa aman yang kurasakan saat itu terbukti palsu.
Sekitar jam 2 pagi, sebuah suara
membangunkanku. Aku selalu mudah dibangunkan oleh suara sekecil apapun.
Dan suara itu terdengar seperti suara pintu didorong terbuka, diikuti
suara langkah kaki yang sangat pelan. Arahnya bukan dari kamar Alisha
maupun Lindsay. Arahnya dari dalam lorong. Dari dalam kamar mandi utama.
Mungkin dari ruang rangkak itu.
Rasa takutku memuncak ketika
langkah kaki itu terdengar mendekati kamarku. Aku bisa melihat dari
sela-sela yang ada di bawah pintu kamarku, sebuah bayangan tengah
berdiri di luar kamarku.
Aku tak berani bergerak. Apapun itu, ia hanya berdiri saja di luar
pintu. Puncaknya ketika aku mendengar suara kenop kamar pintu diputar
dari luar.
Makhluk itu mencoba masuk ke kamarku.
Tiba-tiba Stephanie terbangun dan menyuruhku berhenti membuat suara
itu. Ia mengatakan ini sudah malam. Namun aku menjawab, bukan aku yang
melakukannya. Namun ia tak peduli dan kembali tidur.
Mungkin mengetahui Stephanie
terbangun, suara itu berhenti.
Hari berikutnya, aku menemuiku
supervisorku dan mengatakan bahwa aku harus pulang hari itu juga. Ia
kelihatan bingung dan mencoba mengatakan bahwa “homesick” memang sering
terjadi dalam pertukaran pelajar semacam ini, namun lama-kelamaan
perasaan itu akan menghilang. Namun aku tak peduli, bahkan meminta orang
tuaku untuk memesan tiket penerbangan kembali ke Amerika untuk besok
pagi. Walaupun kebingungan, orang tuaku pun menyanggupinya.
Ketika kembali ke apartemen, aku mencoba mengatakan apa yang terjadi
pada ketiga temanku. aku menceritakan semuanya bahkan menunjukkan foto
yang kuambil. Namun tak ada yang percaya kepadaku. Mereka menganggapku
seakan aku gila bahkan menuduhku memanipulasi foto itu. Mereka takkan
mau pergi dari sini, aku tahu. Kesempatan belajar ke luar negeri seperti
ini memang suatu kesempatan langka yang sulit diperoleh. Namun aku
takkan mengorbankan nyawaku demi hal semacam itu.
Akupun menuju ke kamarku dan
dengan berat hati menghabiskan
satu malam kembali di apartemen itu. Aku tak punya pilihan lain. Namun
mengetahui bahwa besok aku akan kembali ke rumah membuatku sedikit
tenang.
Namun seharusnya aku tak kembali ke apartemen itu, bahkan untuk
semalam saja. Sekitar waktu yang sama, jam 2 dini hari, suara itu
kembali terdengar.
Suara langkah kaki kembali terdengar mendekati kamarku. Aku bahkan
kali ini bisa mendengar suara napasnya, berat dan pelan. Aku langsung
terduduk dengan panik dan kemudian menyadari hal yang mengerikan. Aku
belum mengunci kamarku. Makhluk itu ada di luar dan sebelum sempat
melompat dan mengunci pintu, pegangan pintu membuka.
Pintu terbuka dengan perlahan,
menimbulkan suara berderit yang menyakitkan telinga.
Aku membeku tenggelam dalam
ketakutan ketika aku akhirnya melihat wujudnya. Matanya seakan menonjol dari tengkoraknya, bersinar agak
kebiruan. Ia tak memiliki hidung,
hanya celah kecl dimana lubang
hidung seharusnya berada. Giginya seperti yang dimiliki manusia, namun
ia tak memiliki bibir. Kulitnya kebau-abuan dan seakan hanya membungkus
tulang-tulang di tubuhnya.
Setelah berhenti di muka pintu
sejenak, ia mulai berjalan
mendekatiku. Ketika ia bergerak,
suara tulang2nya memberikan suara seakan retak. Nafasnya tak hanya
terdengar seperti suara mendengus, namun mengeluarkan bau yang busuk.
Seperti campuran sulfur dan daging membusuk. Aku menjerit sekuat
tenagaku.
Stephanie langsung terbangun
seketika itu juga.
Dengan cepat makhluk itu merangkak dengan keempat kakinya dan berlari
seperti laba2 keluar dari ruangan. Stephanie tak sempat melihatnya dan
mulai menjerit apa masalahku. Aku mencoba menjelaskan apa yang terjadi,
namun ia hanya berdiri dan sambil menutup pintu kamar. Ia menyebutku
gila.
Taksi datang menjemputku pagi-pagi buta. Bahkan matahari belumlah
terbit. Tak ada satupun di antara ketiga gadis yang tinggal bersamaku
mau mengantarku keluar. Aku sudah tahu hal itu akan terjadi. Namun
begitu aku masuk ke dalam taksi dan kendaraan itu mulai berjalan, aku
tak pernah merasa selega itu.
Ketika aku menyandarkan kepalaku dan melihat ke jendela, mencoba
memandang apartemen itu untuk terakhir kalinya. Aku bisa melihat jendela
kamarku dari dalam mobil dan lagi2 aku membeku ketakutan. Di sana, di
balik jendela, tampak makhluk itu. Matanya tak berkedip, terpaku ke
arahku. Mulutnya yang tak berbibir melengkung, seolah sedang tersenyum.
Menyeringai.
Aku mencoba memperingatkan mereka. Aku berusaha sekuat
tenagaku untuk memperingatkan mereka bahaya yang ada di apartemen itu.
Namun tak ada yang mendengarkanku. Aku benar2 tak kuasa menghentikan apa
yang terjadi berikutnya.
Ketika aku kembali ke Amerika
Serikat, aku mendapat telepon dari supervisorku. Ketiga teman satu
apartemenku telah menghilang. Tak ada satupun yang tahu dimana mereka.
Supervisorku sudah menghubungi pihak kepolisian, namun bahkan mereka pun
tak dapat menemukan keberadaan ketiga temanku itu.
Ketika mereka memeriksa apartemen, makanan2 yang ada di dalam sudah
membusuk. Tak ada tanda-tanda seseorang memaksa masuk dan tak satupun
barang berharga ditemukan hilang.
Satu-satunya hal penting yang mereka rasakan ketika pertama tiba
adalah bau seperti campuran sulfur dan sesuatu yang membusuk. Bau itu
berasal dari kamar mandi. Seperti yang bisa kuduga, asalnya dari ruang
rangkak itu. Pihak berwajib memberikan pernyataan bahwa mereka diculik.
Namun aku tahu kenyataannya. Mereka sudah mati sekarang. Aku merasa
bersalah karena aku tak bisa menyelamatkan mereka.
Dengan menulis ini, aku ingin
memperingatkan, apapun yang
terjadi, jangan menyewa apartemen.yang berharga sangat murah di Campo di
Fiori itu. Berhati-hatilah jika kalian mengunjungi Roma.
Sekali bertemu dengannya, mungkin kalian takkan bisa meloloskan
diri..Sebab di rumahku juga terdapat ruang rangkak. Dan ketika aku
mulai.mencium bau belerang itu, aku memfoto bagian dalamnya dan inilah
hasilnya.
Kurasa ia mengikutiku ke rumah.
.
More stories? Stay on my blog ^^
0 Komentar